Wednesday, 8 August 2012

Akal & Wahyu


1. Akal
Ada yang benar mengharapkan untuk melihat Mu’tazilah sekarang ini berbicara sebagai wakil dari teori rasionalis tentang iman = “pengetahuan”, karena Mu’tazilah tak diragukan lagi merupakan Islam rasionalis yang paling radikal yang pernah lahir. Namun harapan ini segera pupus. Perlu kita perhatikan bahwa teori tentang imam bukanlah merupakan landasan bagi Mu’tazilah. Mereka memiliki masalah penting.

Ash’ari sebagai wakil pendapat dari Mu’tazilah mengenai masalah ini, maka kita akan segera melihat bahwa perhatian mereka berada pada masalah lain. Semua pendapat memiliki kesamaan bahwa mereka selalu menegaskan pentingnya ‘perbuatan’ di dalam imam. Sehingga bahkan kita memperoleh kesan bahwa dalam pikiran mereka imam hampir sepenuhnya diidenfitikasikan.
Penekanan terhadap perbuatan ini menurut pemahaman Mu’tazilah mengenai iman tidaklah sulit untuk dijelaskan karena konsep tentang ‘perbuatan’ memiliki kandungan langsung dan bersifat sentral terhadap masalah ‘janji dan ancaman’ al- wa’d wa al- wa’id yang merupakan salah satu dari lima pendirian fundamental mu’tazilisme.
Sifat rasional iman menurut konsepsi Mu’tazilah dibuat sangat jelas berdasarkan kesimpulan yang ditariknya, yakni penolakan iman atas dasar otoritas orang lain. Masalah iman bi al taqlid atau kepercayaan berdasarkan otoritas dan melalui kabar angin, akan dijadikan sebagai subjek tersendrii dalam bagian selanjutnya. Untuk sementara ini cukup untuk diketahui bahwa apabila Mu’tazilah menolah keabsahan kepercayaan yang naïf pada orang-orang awam yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang dialetika dan pemikiran filosofik, hal ini karena bentuk kepercayaannya tidak berdasarkan pada arumentasi logik. Persoalan ini saja menyebabkan konsep rasionalis iman sebagai pengetahuan diantara orang-orang Mu’tazilah menjadi tersebar. Bahkan wahyu dimata mereka adalah merupakan bentuk pengetahuan yang benar-benar kehilangan landasan rasional.
Teori rasionalistik jauh lebih konsisten tentang iman diuraikan oleh maturidiyyah, pengikut Abu Hanifah di Transoxiana. Yang sangat menarik adalah pandangan mereka mengenai masalah tentang hubungan antar akal dan wahyu dalam kaitannya dengan konsep iman, masalah yang muncul adalah apabila seseorang mendefinisikan iman dengan pengetahuan, dimana pengetahuan dipahami sebagai suatu aktivitas akal. Pendirian utama Maturidiyah terletak pada pertanyaan apakah menyebabkan pengetahuan tentang Tuhan menjadi wajib. Akalkah? Atau Hukum Ilahi?.
Disini sifat wajib terhadap pengetahuan tentang Tuhan )ma’rifah Allah) dianggap sebagai kebenaran, ma’rifah dalam konteks ini menjadi sinonim dengan iman.
Pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah pengetahuan tentang Tuhan menjadi wajib bagi seseorang apabila ia telah mencapai kemampuan untuk berfikir, atau apakah pengetahuan masyarakatnya untuk memberitahukan semuanya yang perlu diketahui oleh manusia. Pada umumnya Maturidiyyah memilih alternatif yang pertama, sedangkan Ash’aryyah memilih alternatif yang kedua, dan mereka saling bertentangan secara tajam dalam masalah ini.
Posisi Ash’ariyyah dilukiskan oleh pengarang al- Raqdah al- bahiyyah sebagai berikut:
Berkenaan dengan wajibnya pengetahuan tentang Tuhan, tidak terdapat perselisihan sama sekali antara dua kelompok tersebut. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa Ash’ari mengatakan: Yang mewajibkan adalah wahyu atau Hukum ilahi (shar’), sedangkan Maturidi mengatakan: karena akal (aql). Wajibnya tersebut menurut Ash’ari semata-mata didsarkan pada bukti firman Tuhan.
Tentang hal posisi Ash’ariyyah terhadap posisi Maturidiyyah bertentangan secara diametrik. Sifat wajib terhadap pengetahuan tentang tuhan didasarkan akal. Yakni, manusia harus mengetahui tentang Tuhan dengan akalnya bahkan ketika belum ada wahyu. Jelaslah bahwa akal merupakan akata kunci paling penting disini. Kita perlu memulainya dengan menjelaskan konsepsi Maturidiyyah tentang akal. Berikut ini adalah apa yang dikatakan oleh Bayadi teolog hanbaliyyah Maturidiyah tentang akal.
Satu-satunya  teori yang benar tentang akal adalah sebagai berikut. Manusia sejak dini memiliki potensi untuk mengembangkan akal dan kecendrungan untuk memahami hal-hal yang harus dipahami secara intelektual. Potensi atau kesiapan ini disebut potensi akal (‘aql bi-al quwwah) atau akal bawaan (‘aql gharizi). Kemudian akal ini berkembang sedikit demi sedikit melalui aktivitas kreatif Tuhan sehingga mencapai kesempurnaannya. Dengan demikian akal yang sempurna disebut ‘akal yang diperoleh (‘aql mustafad).
Sekarang kita berada pada posisi yang lebih baik untuk memahami posisi maturidiyyah mengenai masalah hubungan dasar antara akal dan wahyu, berkenaan dengan iman sebagaimana dipahami menurut pengertian pengetahuan. Teks kunci ini diberikan melalui kata-kata Abu Hanifah sebagaimana disampaikan oleh Abu Yusuf: Sekalipun Tuhan tidak mengirim seorang utusan pun kepada umat manusia, manusia masih tetap di tuntut untuk memiliki pengetahuan (ma’rifah) tentang dia melalui akal. Berikut ini merupakan penafsiran terhadap kunci tersebut oleh Bayadi. Teks asli Abu Hanifah yang dikutif disini oleh Bayadi diberikan kata-kata  penjelasan dalam kurung.
Sekalipun Tuhan belum mengirim umat manusia seorang Utusan pun (yang akan menjelaskan kepada mereka semuanya yang diwajibkan bagi mereka), manusia masih tetap dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang Dia. (yakni pengetahuan tentang eksistensi-Nya, kemudian setelah itu pengetahuan tentang keesaan-Nya, pengetahuan-Nya, kekuasaan-Nya, Firman-Nya, kehendak-Nya dan Dia saja yang telah menciptakan dunia), dengan akal mereka (yakni ‘akal yang diperoleh sebagaimana dirumuskan diatas yang merupakan tugas yang dibebankan kepada manusia untuk merenungkan dan memikirkan selama masa sementara tersebut.
Beberapa perkataan penting berdasarkan apa yang ditulis oleh Bayadi dan Abu ‘Udhibah mengenai teori Maturidiyyah tentang akal.
(1) Akal tidak lain adalah alat di tangan manusia yang dengannya dapat mengetahui sesuatu yang harus diketahuinya tentang Tuhan. Akal adalah alat pengetahuan, sehingga untuk tujuan itu tidak diperlukan Hukum Ilahi.
Perbedaan antara Maturidiyyah dan Mu’tazilah (semoga Tuhan membinasakan mereka) adalah bahwa Mu’tazilah menganggap akal saja sudah cukup diwajibkannya pengetahuan, sedangkan Maturidiyyah menganggap bahwa akal tidak lain adalah sebagai alat yang dengannya pengetahuan menjadi wajib, sedangkan yang sesungguhnya menjadikan wajib adalah Tuhan sendiri. Dengan kata lain. Dia (menjadikan pengetahuan wajib) dengan menggunakan akal manusia sebagai alat.
Perbedaan maupun keserupaan antara Mu’tazilah dengan Maturidiyyah diungkap dengan jelas oleh posisi masing-masing berkenaan dengan masalah apakah anak-anak sebelum dewasa atau orang-orang yang kepada mereka belum sampai berita kenabian dikenakan tanggungjawab karena kurangnya pengetahuan dan iman.
Abu ‘Udhbah melihat bahwa perbedaan antara Ash’ariyah dan Maturidiyyah dalam hal ini jauh lebih besar dibandingkan antara Maturidiyyah dengan Mu’tazilah. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya Maturidiyyah dan Mu’tazilah saling sepakat dalam beberapa persoalan karena penekanan mereka yang sama tentang akal.
Misalnya ada seseorang yang lahir di pucuk gunung, dibesarkan di sama, sehingga tidak berkesempatan untuk (mendengarkan tentang utusan sehingga tidak) percaya kepada Tuhan. Apabila ia mati dalam keadaan tersebut, apakah ia akan dihukum atau tidak (di akhirat) karena ia tidak percaya?
Inilah jawaban Ash’ariyyah: tidak, dia tidak akan dihukum karena selama masa hidupnya syarat mewajibkan untuk percaya kepada Tuhan tidak terdapat, dan syarat tersebut adalah wahyu.
Maturidiyyah, dalam pada itu menegaskan: Ya, ia akan dihukum karena telah terdapat syarat yang mewajibkan iman, dan syarat tersebut adalah akal. Kita memperoleh jawaban yang sama mengenai hal ini dari Mu’tazilah.
Menurut Mu’tazilah, siapa saja yang memiliki akal maka tidak ada alasan untuk tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan, apakah ia seorang anak kecil atau seorang dewasa. Karena (akalnya) tersebut mewajibkan kepadanya untuk mencari kebenaran. Sehingga seorang anak yang memiliki akal mau tidak mau perlu memiliki iman karena ia memiliki akal. Apabila ia mati tanpa kepercayaan maka ia akan dihukum.
Menurut Maturidiyyah, tidak ada yang mewajibkan kepada anak-anak sebelum ia dewasa, karena keadaannya berdasarkan sabda Utusan Tuhan: “hukuman dihapus karena tiga perkara. Salah satu diantaranya adalah anak-anak sebelum ia mencapai dewasa”. Dengan demikian anak seperti itu akan diampuni, menurut pandangan Maturidiyah, apabila ia mati tanpa kepercayaan.
(2) Penegasan  yang dikemukakan oleh Maturidiyyah tentang akal bagaimamapun tidak harus diartikan bahwa menurut Maturidiyah hukum ilahi tidak berguna apabila kita telah memiliki akal.
(3) Pertanyaan yang timbul dari (2) sesungguhnya merupakan perkara yang sangat rumit. Sehingga secara historic menjadikan perpecahan para pengikut Maturidi ke dalam mazhab Bukhara dan mazhab Samarqand. Secara keseluruhan, mazhab Samarqand tetap lebih setia kepada intelektualisme Abu Hanifah.
Bukti teks yang paling penting bagi Ash’ariyah adalah ayat yang dikutip diatas (XVII,15): Kami tidak pernah menghukum sampai Kami mengirimkan seorang Utusan. Ayat ini jelas-jelas menolak terjadinya hukuman ilahi sebelum datangnya hukum tersebut.
Mereka menegaskan bahwa argument di atas hanya berlaku bagi Mu’tazilah tetapi tidak berlaku bagi Maturidiyyah.
Karena hukuman ‘adhab yang dibicarakan disini merupakan hukuman yang paling berat yakni isti’sal. Hal ini dibuktikan oleh ayat yang langsung mengikuti ayat yang baru dikutip: “Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Tuhan) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah seantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itusehancur-hancurnya”.
 Menurut ayat ini, ayat yang sebelumnya tidak lain artinya bahwa Tuhan tidak pernah memberikan hukuman yang sangat berat kepada seluruh masyarakat sebelum Dia memberikan peringatan kepada orang-orang melalui seorang utusan. Dengan demikian ayat tersebut tidak menolak kemungkinan bahwa Tuhan mengirimkan hukuman yang lebih ringan terhadap orang-orang yang telah mengabaikan untuk memenuhi apa yang telah diwajibkan (yakni oleh akal) bahkan sebelum diutusnya seorang utusan.
Sehingga kesimpulannya bahwa orang yang tidak mengetahui apa yang dapat diketahui oleh akal tanpa bantuan hukum ilahi dapat dihukum oleh Tuhan.
Setiap orang yang dikaruniai akal, apabila ia mengamati penciptaan langit dan bumi dan penciptaan dirinya sendiri dan orang-orang lain, mau tidak mau akan menuju kepada pengetahuan tentang eksistensi sang pencipta setelah melewati suatu proses pemikiran.
(4) Sebagaimana telah dinyatakan dengan jelas pada pembicaraan terdahulu, yang paling penting diantara semua kewajiban menurut Maturidisme adalah kewajiban merenungkan dan berfikir untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Ini adalah asas, sedangkan yang lainnya hanyalah tergantung kepada pengetahuan tersebut.
(5) Masih ada dua masalah yang lebih kecil untuk disebutkan dalma kontek ini. Yang satu bersifat sederhana, yakni mengenai sifat atau tingkatan kewajiban untuk mengetahui. Menurut Bayadi, jenis pengetahuan tentang Tuhan yang berdasarkan pada penggunaan akal yang umum dan luas, dan yang menyebabkan manusia berfikir dan menggunakan akal diatas tingkatan paling rendah dari mengikuti dengan membuta terhadap otoritas, adalah merupakan tugas yang dibebankan kepada setiap muslim. Dengan kata lain, ini merupakan fard ‘ayn, bukan nya fard kifayah.
Masalah kedua berkenaan dengan cara dimana penggunaan akal menuju kepada pengetahuan. Bagaimanakah penggunaan akal yang benar untuk menghasilkan pengetahuan yang benar? Terhadap pertanyaan ini Mu’tazilah menjawab, melalui generasi (tawlid). Sedangkan jawaban para filusuf berbeda dengan jawaban tersebut. Mereka mengatakan melalui keharusan logik (ijab).
Berlawanan dengan jawaban khas tadi, Maturidiyyah menegaskan, terjadinya pengetahuan setelah suatu proses penggunaan akal yang benar adalah dikarenakan oleh adat yang dikembangkan secara ilahiyah. Hubungan antara pengetahuan dengan akal pada hakikatnya merupakan masalah adat yang ditetapkan oleh Tuhan; yang tidak memiliki hubungan logik dan bukan mrupakan sesuatu dari hasil alamiah.

2. Wahyu
Pertanyaan tentang apa perlunya wahyu tentu banyak dihadapkan kepada kaum Mu’tazilah. Sebagai telah dilihat dalam sistim teologi mereka wahyu tak mempunyai fungsi apa-apa dalam soal ke empat masalah yang menjadi bahan kontroversi dalam teologi Islam.
Mengenai soal Tuhan, betul kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai sifat, tetapi sebagai telah dijelaskan sebelumnya, mereka tetap berpendapat bahwa Tuhan mengetahui, berkuasa melihat, mendengar dan sebagainya. Hanya apa yang disebut sifat oleh golongan lain, bagi mereka adalah esensi Tuhan, dan untuk menggambarkan hal itu mereka tetap memakai kata “sifat”. Dalam faham mereka, semua “sifat” Tuhan dapat diketahui. Termasuk dalamnya “sifat-sifat” mendengar dan melihat yang menurut aliran lain dapat diketahui hanya melalui wahyu. Argument yang dimajukan kaum Mu’tazilah dalam hal ini ialah: karena Tuhan hidup dan karena ia hidup dan karena ia  suci dari segala kekurangan, maka ia mesti mempunyai pendengaran dan penglihatan.
Kalau untuk mengetahui Tuhan dan sifat –sifat-Nya, wahyu , dalam pendapat Mu’tazilah, tak mempunyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan, wahyu diperlakukan. Akal betul dapat mengetahui kawajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat menyembah Tuhan.
Mengenai soal baik dan buruk, kaum Mu’tazilah, menurut apa yang terkandung dalam keterangan Al- Syahrastani, berkeyakinan bahwa akal dapat mengetahui segala apa yang baik dan segala apa yang buruk.
Selanjutnya wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi member penjelasan tentang  perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Sebagai kata ‘Abd al- Jabbar, akal tak dapat mengetahui bahwa upah suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain; demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua ini dapat diketahui hanya dengan perantaraan wahyu Jubba’i. Wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal. Bahwa wahyu mempunyai fungsi konfirmasi bagi Mu’tazilah dikandung dalam keterangan al-Syahrastani.
Fungsi selanjutnya dari wahyu, sebagai disebut al-Syahrastani, ialah mengingatkan manusia akan kelalaian mereka dan memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan. Jadi akal telah tahu pada Tuhan dan telah tahu akan kewajiban terhadap Tuhan, dan wahyu datang untuk mengingatkan manusia pada kewajiban itu. Akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi melalui jalan yang panjang.
Dari uraian di atas diperoleh kesan bahwa wahyu bagi kaum Mu’tazilah lebih banyak mempunyai fungsi konfirmasi dari fungsi informasi.
Bagi kaum Asy’ariyah, karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewaijban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu.
Jelas bahwa dalam pendapat aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali. Wahyu menentukan boleh dikata segala hal. Sekiranya wahyu tak ada, manusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya masyarakat akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat manusia dan memang demikian pendapat kaum Asy’ariyah. Salah satu fungsi wahyu, kata al-Dawwani, ialah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia.
Adapun aliran Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih kurang dari pada wahyu dalam paham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya unyuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedang dalam pendapat golongan ke dua, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariah dan fungsi terkecil dalam faham Mu’tazilah. Bertambah besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam sesuatu aliran bertambah besar daya akal dalam aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia. Wahyu sebaliknya, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu ditunkan Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.





Tuesday, 7 August 2012

Dari Sabang Sampai Merauke


Ciptaan: R. Suharjo

Dari sabang sampai merauke 

Berjajar pulau-pulau 

Sambung memnyambung menjadi satu 

Itulah Indonesia 

Indonesia tanah airku 

Aku berjanji padamu 

Menjunjung tanah airku 

Tanah airku Indonesia

Makna Atribut Pakaian Dinas Harian (PDH)

1. Muts
- Warna dasar Muts adalah biru melambangkan bahwa seorang Praja itu berfikiran seluas langit.
- Pada Muts terdapat lis berwarna kuning melambangkan bahwa seorang Praja itu adalah seorang calon perwira. Ketika lulus nanti ia akan langsung diangkat menjadi PNS golongan III/a.

2. Kewiraan
Kewiraan letaknya di sisi kiri atas Muts, Kewiraan juga melambangkan bahwa seorang praja adalah calon perwiranya PNS.
3. Dek
- Dek terletak di pundak seorang Praja, ini memiliki makna bahwa seorang Praja memiliki beban dan tanggung-jawab yang besar di pundaknya.
- Setiap tingkatan praja memiliki jumlah bintang yang berbeda di dek nya. Hal ini menandakan semakin tinggi tingkat dan pangkat seorang Praja maka akan semakin besar pula tanggung-jawab yang dipikulnya.
Untuk tingkat 1 (Muda Praja) memiliki balok satu.
Untuk tingkat II (Madya Praja) memiliki balok satu dan bintang Satu.
Untuk tingkat III (Nindya Praja) memiliki balok satu dan bintang dua.
Untuk tingkat IV (Wasana Praja) memiliki balok satu dan bintang tiga.
4. Monogram IPDN
Monogram IPDN terletak di atas kerah baju PDH. Monogram ini menandakan identitas dari IPDN.
5. Papan Nama
Papan nama disematkan di atas saku kanan baju PDH. Warna latar papan nama adalah hitam dan tulisan nama berwarna putih. Hal ini menandakan bahwa nama seorang Praja harus bersih di atas hukum.
6. Lambang Korpri
Lambang Korpri disematkan di atas saku kiri baju PDH. Lmbang Korpri menandakan bahwa seorang Praja selama pendidikan telah diangkat sebagai CPNS golongan II/a.
Lambang Korpri dan Papan Nama tidak disematkan sejajar melainkan Lambang Korpri disematkan lebih tinggi sedikit dari Papan Nama. Hal ini mengandung filosofi bahwa seorang praja harus lebih mementingkan masyarakat dibandingkan kepentingan pribadinya.
7. Bordiran Lambang IPDN
Bordiran Lambang IPDN terletak di lengan kiri baju PDH. Hal ini menandakan identitas lembaga IPDN.
8. Baju dan Celana
Baju dan celana PDH memiliki warna coklat sama seperti warna tanah. Hal ini menandakan seorang Praja harus memiliki sifat merakyat.
9. Tali Ikat Pinggang dan Gesper
Tali ikat pinggang Praja berwarna hitam menandakan seorang Praja terikat oleh hukum. Di atas gesper juga terdapat lambang IPDN yang juga menandakan identitas lembaga IPDN.
10. Sepatu
Sepatu PDH praja berwarna hitam memiliki makna filosofi bahwa seorang Praja berdiri di atas hukum.

Monday, 6 August 2012

Buat yang manja mending ga usah masuk IPDN


Judulnya memang bahasa Inggris. Tapi jangan khawatir bahasa inggrisnya hanya sebatas judul kok. Saya akan tetap menggunakan bahasa persatuan kita.. BAHASA INDONESIA walaupun ntar dicampur adukkan dengan bahasa gaul anak zaman sekarang karena praja juga bisa nyantai.
ini merupakan tulisan ngawur karena mengikuti dan patuh banget dengan EYD (Ejaan Yang Disepelekan). Tulisan ini merupakan wujud kebosanan saya dalam mengikuti seabrek aktifitas di IPDN. Mulai dari bangun pagi jam setengah lima. Dilanjutkan dengan sholat subuh ( eh, kalau ini memang kewajiban dan kebutuhan). Habis itu, harus mendengar klakson ataupun pluit dari pengasuh agar bagageh untuk melayu-melayu di pagi buta. Ga tau maksudnya apa, tapi denger-denger biar otot kaki kuat. Tapi menurut gue nggak juga kok. Malah membuat otot kelopak mata menjadi menutup pas kuliah. Benar nggak?. Bener laah, semua praja pasti tau kok.
Habis lari balik lagi ke barak buat persiapan sarapan di menza (ruang makan praja). Di sinilah terjadi kompetisi. Kompetisi buat ngebooking kamar mandi karena walaupun kamar mandi banyak tapi yang rusak juga gak kalah banyak. Jika seorang praja mampu memenangkan kompetisi masuk kamar mandi duluan maka bisa dipastikan kompetisi selanjutnya akan dia menangkan juga.
Kompetisi selanjutnya adalah makaaan..
Praja memang buas kalo soal makan. Bayangkan saja porsi untuk beberapa orang praja bisa disikat oleh satu orang praja. Tentunya dia adalah praja bermasalah (bermasalah dengan cacing di perutnya). Nah, kalo dia keluar kamar mandi duluan berarti dia juga akan menjadi praja pertama yang membuka pintu menza dan menjarah bermacam-macam sembako yang ada di meja lain dan mengumpulkan di mejanya. Biar gak ketahuan lauk-pauknya di simpan di dalam termos nasi (ssstt.. jangan bilang siapa-siapa yaa..). makanan tersebut tentunya dinikmati ketika lonceng telah berbunyi dan upacara makan segera dimulai.
Makan pagi di Menza bukan akhir dari segalanya. Kegiatan terus berlanjut dengan apel pagi. Apel pagi merupakan suatu kewajiban yang sangat penting bana ko ha. Karena pada apel pagi para praja mendengarkan berbagai macam doktrin-doktrin atau petuah-petuah untuk bekal bagi kami dalam mengarungi belantara kehidupan dan birokrasi yang kejam ini ( kali ini saya lebay dikit). Doktrin mulai dari yang sederhana-sederhana seperti lingkungan barak wajib bersih tiap hari, performance/penampilan harus dijaga selalu karena “ penampilan bukanlah hal yang utama tapi hal yang pertama dilihat orang”, masalah koreksi rambut yang panjangya telah melampaui batas kedaulatan Negara sampai kepada hal-hal yang berat seperti bagaimana kita beretika ketika mengabdi nanti.
Perjalanan masih panjang. Kami pun setelah apel langsung pergi ke kelas untuk melaksanakan kegiatan selanjutnya yaitu “tiduur”. Ya nggak lah masak tidur. Kami dikelas sangat antusias sekali mendengarkan dosen berceramah. Saking hikmatnya ada yang sampai tertegun dan dalam hitungan detik langsung tumbang.
Kegiatan lain masih antri..
Setelah puas kuliah di kelas. Kami pun kembali ke barak untuk persiapan makan siang di Menza. “Hukum Rimba” masih berlaku.
Setelah makan siang jangan dikira bisa tidur siang ataupun pergi ke mall dengan hati yang riang gembira sambil menghisap rokok dengan tanpa beban. SALAH. Kami harus melangkahkan kaki dan mengayunkan tangan lagi ke kelas untuk mendengarkan materi Pelatihan. Kami pun kembali bertemu kembali dengan pena dan buku. Pelatihan berakhir sekitar jam lima.
Huuft.. pasti banyak yang mengira pasti setelah pelatihan Praja bisa nyantai. Maaf, kami gak seberuntung yang anda pikirkan. Kami harus berkompetisi lagi untuk ke kamar mandi agar bisa memenangkan kompetisi selanjutnya. Pasti anda sudah bisa menerka kompetisi yang saya maksud. Ya itu dia,, MAKAN.
Mungkin anda semua bertanya-tanya, kok praja orientasinya makan ya?.
Saya sebagai saksi hidup akan mencoba menjelaskan dengan beberapa teori yang keliatan ilmiah. Memang praja kalo makan pasti susah di bendung. Wajar kok. Berdasarkan hukum keseimbangan dari Prof. Koenjaraningrat (saya kok kurang yakin ya) bahwa segala sesuatu itu selalu mencari titik keseimbangan. Contohnya pergeseran lempeng bumi yang menyebabkan gempa Tektonik merupakan upaya untuk mencapai suatu keadaan seimbang, begitu juga dengan longsor, alam berusaha mencapai keseimbangan. Trus hubungannya dengan praja?
Praja pun begitu, dengan aktifitasnya yang minta tolong. Aktifitasnya yang begitu banyak menghasilkan energy memerlukan suatu tindakan untuk mengimbanginya yaitu MAKAN. Makan di satu tempat yang bernama Menza. Tak pandang kaya taupun miskin, anak tambal ban ataupun anak sekjen merasakan lapar yang sama dan merasakan rasa makanan yang sama. Hiks..hiks..
Tampa terasa upacara makan malam selesai. Habis itu istirahat di barak?
Belum mas, ini masih jam tujuh, masih ada jam wajib belajar mandiri ataupun jam kerohanian di tempat ibadah masing-masing( kerohanian pada malam senin sama malam kamis).
Habis belajar mandiri atau kerohanian kok ngantuk ya? Tidur dulu akhh…
Priiiiiiiit….Priiiiiiitt.. apel..apel… terdengar suara pengasuh berteriak-teriak untuk menyuruh praja apel malam. Apel malam dimulai..
Sudah jam setengah sepuluh, praja pun kembali kebarak untuk melaksanakan aktifitas selanjutnya.. sebelum anda berfikir bahwa itu tidur, saya tlulis duluan “ bukan kang”.
Kami harus mempersiapkan keperluan untuk besok, baik itu SSB (Semir, Setrika,Braso) ataupun menyiapkan keperluan kuliah. Nah, akhirnya semua aktifitas selesai. Kami siap untuk tidur dengan tenang dan berdoa supaya besok pagi hari hujan ataupun pengasuh mendadak amnesia dan lupa bahwa ada lari pagi (kayaknya harapan yang kedua gak mungkin).
Ada yang berbisik, “mas mas, trus mukulin adek-adeknya kapan?”. Mukul ??, ngurus diri ndiri aja gw ga sempat. ( lembah manglayang, ketika dosen ga datang)

NAPAK TILAS PERJUANGAN R.A. KARTINI


Ibu kita kartini..
Putri sejati…
Putri Indonesia…
Harum namanya….
…………………………
Cuplikan lagu di atas tak terasa asing terdengar di telinga kita, bahkan anak TK pun dengan lancar menyanyikan bait-bait lagu tersebut. Sebenarnya sehebat apakah seorang wanita jawa yang bernama kartini ini? Dia tetap hidup meskipun jasadnya telah hancur berkalang tanah. Begitu dahsyatnya gebrakan yang kartini lakukan sehingga dapat membuat mata dunia terbuka, menginspirasi banyak orang khusunya seorang wanita untuk dapat berkarya pada dunia tak sebatas keluarga.

Dalam tradisi jawa, wanita mempunyai arti wani ditata (berani diatur: bhs jawa-red). Dimana seorang wanita berada di bawah kuasa dan perintah seorang laki-laki terutama ayah atau suaminya setelah menikah. Peranan wanita terbatas pada tiga tempat yaitu dapur, sumur dan kasur titik tak ada penyangkalan lain. Ketika seorang wanita mencapai cukup umur untuk berkeluarga kaum ini akan di pingit hingga ada seoarang lelaki yang melamarnya. Betapa sederhana siklus hidup seorang makhluk berjenis wanita pada saat itu. Dia terlahir hanya untuk menunggu dilamar orang, melayani suami dan membesarkan anak. Tak ada yang bisa dilakukannya untuk kemaslahatan orang banyak

Padahal kalau masyarakat pada zaman itu teliti, untuk membesarkan dan mengasuh anak diperlukan pengetahuan yang luas agar seoarang anak tersebut menjadi cerdas serta berbudi pekerti. Bagaimana seorang wanita yang tak pernah mengenal pendidikan dapat memuaskan rasa intelektualitas dari seorang anak yang cenderung ingin tahu dan kritis. Ini menyebabkan generasi muda Indonesia kalah saing dan tertinggal dengan bangsa lain, terbukti kita dijajah hingga ratusan tahun. Tak lain dan tak bukan peran seorang wanita urun andil dalam kurun waktu panjang penjajahan tersebut. Pertanyaan yang timbul, apakah itu mutlak kesalahan seorang wanita? Saya yakin masing-masing dari individu mempunyai jawaban yang hampir sama. Tentu TIDAK!!

Kartini dengan segala tradisi yang harus dilakoninya, mencoba mendobrak pola pikir masyarakat saat itu. Dengan tradisi pingit yang dijalaninya, dia tetap memuaskan kehausannya akan ilmu melalui buku. Beruntung karting terlahir di tengah keluarga ningrat sehingga meski dalam keadaan pingitan, beliau mendapat kesempatan belajar dari buku. setelah menikah beliau berkesempatan mendirikan sekolah wanita di Swemarang pada tahun 1912, dimana sekolah ini memberikan pelajaran ketrampilan, seperti menyulam, menjahit, serta pendidikan lainnya. Selain itu terdapat karya Kartini yang menginspirasi wanita hingga sekarang yang tertulis dalam sebuah buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi kumpulan suratnya pada sahabat-sahabatnya di Belanda tentang nasib wanita di negerinya.

Dari jerih payah pengorbanan kartini tersebut, kini seorang wanita dapat berkarya tak hanya dalam lingkup keluarga, memenuhi kebutuhan anak dan suaminya. Persamaan gender telah terealisasi setelah puluhan tahun usaha dari sosok Kartini. Bekerja dan berkarir menjadi ciri khas wanita modern saat ini. Menjadi wanita kantor, manager, hingga teknisi bahkan di beberapa tempat pekerjaan yang identik dengan pria diduduki oleh seorang wanita, semisal: tukang bengkel, kondektur hingga teknik, bahkan tak tanggung-tanggung presiden kelima Negara Indonesia adalah seorang wanita. Sewbegitu bebasnya emansipasi seorang wanita hingga kini tak jarang dijumpai pertukaran perang dalam rumah tangga, seorang istri banting tulang mencari nafkah sedangkan suaminya mengurus pekerjaan rumah dan anak. Apakah ini yang diharapkan oleh seorang Kartini??

Suatu hal bila dilakukan berlebihan tentu tidak akan baik hasilnya. Seperti fenomena pergantian peran dalam rumah tangga, seorang istri yang berkarir kemudia menyerahkan tugasnya di rumah serta pengasuhan anak pada pembantu, apakah itu yang diharapkan oleh seorang R.A Kartini ketika memperjuangkan nasib kaumnya dahulu? Tersenyumkah beliau sekarang melihat derajat kaumnya yang setara dengan derajat seorang pria, atau malahan beliau menangis melihat emansipasi seoarng wanita yang kelewat batas? Atas nama kesetaraan gender sebagian besar wanita modern sekarang berlomba untuk mengejar karir dan prestasi di luar rumah dan dengan dalih “ini semua untuk kebahagiaan keluarga” mereka mencari pembenaran atas ketiadaan waktu untuk sekedar meluangkan waktu di rumah serta mendengarkan cerita anaknya di sekolah, kepenatan suaminya di kantor dengan alasan “saya juga capek seharian bekerja”.
Jika hal ini makin menjadi tren, pertanyaan yang muncul adalah “Apa salah seorang R.A Kartini yang ingin memajukan kaumnya jika semakin ke depannya perang wanita dalam keluarga malah semakin sedikit bahkan menghilang?”. Tak perlu saya jawab, karena sya yakin anda mempunyai berjuta jawaban untuk sebuah pertanyaan diatas. Semoga ini bisa menjadi bahan instropeksi pada wanita yang berkarir di masa sekarang akan kodratnya segagai seorang istri dan ibu.

Antara Logika dan Hati di Lembah Manglayang

Entah sudah berapa kali kalimat itu menggantung di pikiran saya. Sebuah kalimat yang mungkin dari segi struktur bahasa boleh dibilang sangat sederhana dan mudah dimengerti maksudnya. Sederhana struktur bahasanya tapi sangat sulit untuk dijawab secara jujur, itu kalau menurut saya, entah kalau orang lain. Ketika saya SMA ( saat pertama kali saya mengenal IPDN) alasan sederhana saya ingin mendaftar di sana adalah karena kuliahnya gratis. Alasan lain adalah karena ingin merantau jauh ke negeri orang, itu pikiran anak SMA. Ketika sudah lulus SMA dan mendaftar sebagai calon praja IPDN, alasan tersebut kemudian mengalami sedikit pergeseran. Saya ingin menjadi PNS. Ya, alasan yang mengkin umum untuk semua orang karena menganggap bahwa PNS adalah pekerjaan yang mungkin dianggap aman dan tanpa “resiko”.
Saya tidak ingin munafik karena sampai tulisan ini saya ketik alasan tersebut masih melayang-layang di benak saya. Antara keinginan yang kuat untuk mendapatkan pekerjaan yang “aman” dengan tujuan luhur untuk benar-banar mengabdi kepada rakyat. Mengabdi?, banyak orang yang menganggap ini terlalu sok-sokan. Hanya omong kosong jika tujuan menjadi PNS hanya untuk mengabdi, begitu anggapan mereka, mungkin juga saya.
Tapi itu semua yang berbicara adalah akal saya, hati saya tetap berkata lain. Ia mengatakan dengan jelas bukankah fasilitas yang kita terima semua berasal dari negara yang dipungut dari pajak masyarakat. Jadi, apakah tidak wajar jika mereka meminta pengabdian kita?. Pasti kita semua  mengatakan wajar lalu kita timpali dengan kalimat penyanggah “tapi kenyataan di lapangan sangat sulit dilakukan”.
Lalu akal ini berpikir lagi, memang sulit ternyata. Buktinya banyak di antara orang-orang yang konon dahulu merupakan mahasiswa-mahasiswa yang idealis, tapi ketika telah masuk ke dunia birokrasi, apalagi politik ternyata tidak sanggup untuk mempertahankan keidealisannya. Tapi hati ini berbisik lagi, “banyak kan tidak berarti semua”. Kenapa saya tidak mencoba untuk menjadi orang yang sedikit itu?. Otakku bungkam.
Beberapa hari yang lalu, dosen saya mengajarkan tentang kenaikan pangkat PNS. Saat itu kami pun diajari tentang trik-trik untuk dapat naik pangkat secepat-cepatnya. Karena ini masalah karir ke depan, saya pun mendengarkan dengan sangat antusias sekali. Setelah mengetahui caranya, pikiran saya pun melayang untuk membayangkan betapa enaknya jika dalam usia muda sudah memiliki pangkat dan jabatan yang tinggi. Hati saya kemudian tak terima, apakah tujuan PNS adalah untuk mendapatkan pangkat dan jabatan yang tinggi?. Sebuah jawaban polos lalu terlontarkan, bukan, pangkat dan jabatan hanyalah jalan, sedangkan tujuannya adalah bermanfaat bagi masyarakat.
Di sini saya diajarkan banyak hal yang mungkin orang lain menganggapnya aneh termasuk saya ketika awal dulu. Berjalan harus menunggu yang lain untuk berbaris, ada berbagai jalan yang dilarang untuk dilewati praja (padahal jalan yang dilarang tersebut bisa menyingkat waktu untuk sampai ke tujuan), ketika berpapasan dengan senior atau pegawai lainnya harus hormat, dan masih banyak lagi yang membuat saya bingung (ketika itu). Belakangan akhirnya saya tahu banyak makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Berjalan dengan berbaris bersama-sama dengan teman ternyata dimaksudkan untuk melatih kebersamaan (kebersamaan dalam hal baik tentunya), banyak jalan yang dilarang untuk dilewati ternyata mengandung pesan agar dalam mencapai tujuan janganlah memakai “jalan pintas”, dan ketika berpapasan dengan senior atau pegawai lain harus hormat, ternyata dimaksudkan agar mempunyai sikap respek dan loyal terhadap pimpinan. Wah, masih banyak lagi sebenarnya yang ingin saya ceritakan.
Dari dulu saya masih belum menyangka bahwa saya bisa dipercaya untuk menjadi seorang anak negara yang nantinya harus mengabdikan diri secara kaffah kepada negara yang telah membesarkannya. Sekarang itu telah terjadi, saya sudah menjadi seorang praja dan tidak ada alasan untuk masih merasa “belum menyangka”. Tidak ada kata mundur karena memang sudah terlambat dan tidak perlu untuk mundur. Bagaimana nanti tergantung bagaimana persiapan saya saat ini.
Kekerasan masih ada gak? Otak dan hati ku dengan kompak menjawab “ Itu dulu”.

Sunday, 5 August 2012

PERAN DAN FUNGSI KONSULTAN PUBLIK RELATIONS BAGI PEMERINTAHAN


PERAN PUBLIK RELATIONS UNTUK PEMERINTAHAN
  1. memberi informasi konstituen tentang aktivitas agen pemerintah.
  2. memastikan kerjasama aktif dalam program pemerintah; voting, curbside recycling, dan juga kepatuhan kepada program aturan-kewajiban menggunakan sabuk pengaman, aturan dilarang merokok.
  3. mendorong warga mendukung kebijakan dan program yang ditetapkan; sensus, program pengawasan keamanan lingkungan, kampanye penyadaran akan kesehatan personal, bantuan untuk upaya pertolongan bencana.
  4. melayani sebagai advokat publik untuk administrator pemerintah; menyampaikan opini publik kepada pembuat keputusan, mengelola isu publik didalam organisasi serta meningkatkan aksesibilitas publik ke pejabat administrasi.
  5. mengelola informasi internal; menyiapkan newsletter organisasi, pengumuman elektronik, dan isi dari dari situs internet organisasi untuk karyawan.
  6. memfasilitasi hubungan media-menjaga hubungan dengan pers lokal; bertugas sebagai saluran untuk semua pertanyaan media; memberitahu pers tentang organisasi dan praktiknya serta kebijakannya.
  7. membangun komunitas dan bangsa; menggunakan kampanye kesehatan publik dengan dukungan pemerintah dan program keamanan publik lainnya serta mempromosikan berbagai program sosial dan pembangunan.

FUNGSI PUBLIK RELATIONS BAGI PEMERINTAHAN
1.      Pembinaan hubungan antar departemen, lembaga negara dan lembaga masyarakat.
 Pengumpulan, pengolahan dan penyusunan bahan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan departemen untuk informasi kepada masyarakat.
2.      Pembinaan hubungan kerjasama media massa dan pembinaan jabatan/pranata kehumasan.Mengamankan kebijaksanaan pemerintah.
3.      Memberikan pelayanan dan menyebarluaskan pesan/informasi mengenai kebijaksanaan dan hingga program-program kerja secara nasional kepada masyarakat.
 Menjadi komunikator dan sekaligus sebagai mediator yang proaktif, dalam menjembatani kepentingan instansi pemerintah di satu pihak dan menampung aspirasi serta memperhatikan keinginan-keinginan publiknya di lain pihak.
4.      Berperan serta dalam menciptakan iklim yang kondusif dan dinamis demi mengamankan stabilitas dan keamanan politik pembangunan nasional, baik jangka pendek maupun jangka panjang.




KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN MEMILIKI HUMAS SENDIRI ADALAH SEBAGAI BERIKUT:

a) Adanya kedekatan team (team membership), yang merupakan keuntungan terbesar.
b) Pengetahuan mengenai perusahaan yang lebih baik.
c) Efisiensi perusahaan. Dapat menekan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan.
d) Ada ketika dibutuhkan (iavailability). Biasanya selalu siaga dan dapat bertindak cepat      terutama sekali dalam keadaan sulit.
e) Kelemahan yang sering terjadi dengan memiliki humas sendiri (internal) adalah dapat menimbulkan kecenderungan berkurangnya objektivitas staf humas internal.



Macam-macam bentuk jasa yang disediakan

SECARA UMUM BENTUK PELAYANAN JASA KONSULTAN ADALAH:
  • Pemberian jasa konsultatif seperti pemberian nasihat
  • Layanan jasa terintegrasi yang luas dalam bentuk eksekusi dalam bantuannya terhitung dari perencanaan konsep hingga penyelesaian program kerja.
  • Gabungan dari jasa konsultatif dan eksekusi, hingga evaluasi program kerja humas.
JENIS PENCIPTAAN DAN KREATIVITAS
Pelayanan penciptaan dan kreativitas bidang jasa kehumasan, yaitu:
  • Penciptaan desain logo, kreativitas nama perusahaan atau produk.
  • Pelaksanaan kampanye promosi di media cetak dan media elektronik
  • Perencanaan dan penerbita media internal
  • Perencanaan dan pembuatan serta merancang seragam karyawan
  • Meyelenggarakan kegiatan perencanaan ajang khusus
  • Menyelenggarkan kegiatan acara-acara perkenalan akan produk/ isyu terhadap publiknya dan juga acara keramaian lainnya yang menitik beratkan pada acara-acara yang bersifat mengumumkan.
  • Melakukan riset dan pengembangan riset
  • Mengantisipasi, menangani krisis dan hingga pemulihan krisis.