1. Akal
Ada yang benar mengharapkan untuk
melihat Mu’tazilah sekarang ini berbicara sebagai wakil dari teori rasionalis
tentang iman = “pengetahuan”, karena Mu’tazilah tak diragukan lagi merupakan
Islam rasionalis yang paling radikal yang pernah lahir. Namun harapan ini
segera pupus. Perlu kita perhatikan bahwa teori tentang imam bukanlah merupakan
landasan bagi Mu’tazilah. Mereka memiliki masalah penting.
Ash’ari
sebagai wakil pendapat dari Mu’tazilah mengenai masalah ini, maka kita akan
segera melihat bahwa perhatian mereka berada pada masalah lain. Semua pendapat
memiliki kesamaan bahwa mereka selalu menegaskan pentingnya ‘perbuatan’ di
dalam imam. Sehingga bahkan kita memperoleh kesan bahwa dalam pikiran mereka
imam hampir sepenuhnya diidenfitikasikan.
Penekanan
terhadap perbuatan ini menurut pemahaman Mu’tazilah mengenai iman tidaklah
sulit untuk dijelaskan karena konsep tentang ‘perbuatan’ memiliki kandungan
langsung dan bersifat sentral terhadap masalah ‘janji dan ancaman’ al- wa’d wa
al- wa’id yang merupakan salah satu dari lima pendirian fundamental
mu’tazilisme.
Sifat
rasional iman menurut konsepsi Mu’tazilah dibuat sangat jelas berdasarkan
kesimpulan yang ditariknya, yakni penolakan iman atas dasar otoritas orang
lain. Masalah iman bi al taqlid atau kepercayaan berdasarkan otoritas dan
melalui kabar angin, akan dijadikan sebagai subjek tersendrii dalam bagian
selanjutnya. Untuk sementara ini cukup untuk diketahui bahwa apabila Mu’tazilah
menolah keabsahan kepercayaan yang naïf pada orang-orang awam yang sama sekali
tidak tahu-menahu tentang dialetika dan pemikiran filosofik, hal ini karena
bentuk kepercayaannya tidak berdasarkan pada arumentasi logik. Persoalan ini
saja menyebabkan konsep rasionalis iman sebagai pengetahuan diantara
orang-orang Mu’tazilah menjadi tersebar. Bahkan wahyu dimata mereka adalah
merupakan bentuk pengetahuan yang benar-benar kehilangan landasan rasional.
Teori
rasionalistik jauh lebih konsisten tentang iman diuraikan oleh maturidiyyah,
pengikut Abu Hanifah di Transoxiana. Yang sangat menarik adalah pandangan
mereka mengenai masalah tentang hubungan antar akal dan wahyu dalam kaitannya
dengan konsep iman, masalah yang muncul adalah apabila seseorang mendefinisikan
iman dengan pengetahuan, dimana pengetahuan dipahami sebagai suatu aktivitas
akal. Pendirian utama Maturidiyah terletak pada pertanyaan apakah menyebabkan
pengetahuan tentang Tuhan menjadi wajib. Akalkah? Atau Hukum Ilahi?.
Disini
sifat wajib terhadap pengetahuan tentang Tuhan )ma’rifah Allah) dianggap
sebagai kebenaran, ma’rifah dalam konteks ini menjadi sinonim dengan iman.
Pertanyaan
yang sesungguhnya adalah apakah pengetahuan tentang Tuhan menjadi wajib bagi
seseorang apabila ia telah mencapai kemampuan untuk berfikir, atau apakah
pengetahuan masyarakatnya untuk memberitahukan semuanya yang perlu diketahui
oleh manusia. Pada umumnya Maturidiyyah memilih alternatif yang pertama,
sedangkan Ash’aryyah memilih alternatif yang kedua, dan mereka saling
bertentangan secara tajam dalam masalah ini.
Posisi
Ash’ariyyah dilukiskan oleh pengarang al- Raqdah al- bahiyyah sebagai berikut:
Berkenaan
dengan wajibnya pengetahuan tentang Tuhan, tidak terdapat perselisihan sama
sekali antara dua kelompok tersebut. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa
Ash’ari mengatakan: Yang mewajibkan adalah wahyu atau Hukum ilahi (shar’),
sedangkan Maturidi mengatakan: karena akal (aql). Wajibnya tersebut menurut
Ash’ari semata-mata didsarkan pada bukti firman Tuhan.
Tentang
hal posisi Ash’ariyyah terhadap posisi Maturidiyyah bertentangan secara
diametrik. Sifat wajib terhadap pengetahuan tentang tuhan didasarkan akal.
Yakni, manusia harus mengetahui tentang Tuhan dengan akalnya bahkan ketika
belum ada wahyu. Jelaslah bahwa akal merupakan akata kunci paling penting
disini. Kita perlu memulainya dengan menjelaskan konsepsi Maturidiyyah tentang
akal. Berikut ini adalah apa yang dikatakan oleh Bayadi teolog hanbaliyyah
Maturidiyah tentang akal.
Satu-satunya
teori yang benar tentang akal adalah sebagai berikut. Manusia sejak dini
memiliki potensi untuk mengembangkan akal dan kecendrungan untuk memahami
hal-hal yang harus dipahami secara intelektual. Potensi atau kesiapan ini
disebut potensi akal (‘aql bi-al quwwah) atau akal bawaan (‘aql gharizi).
Kemudian akal ini berkembang sedikit demi sedikit melalui aktivitas kreatif
Tuhan sehingga mencapai kesempurnaannya. Dengan demikian akal yang sempurna
disebut ‘akal yang diperoleh (‘aql mustafad).
Sekarang
kita berada pada posisi yang lebih baik untuk memahami posisi maturidiyyah
mengenai masalah hubungan dasar antara akal dan wahyu, berkenaan dengan iman
sebagaimana dipahami menurut pengertian pengetahuan. Teks kunci ini diberikan
melalui kata-kata Abu Hanifah sebagaimana disampaikan oleh Abu Yusuf: Sekalipun
Tuhan tidak mengirim seorang utusan pun kepada umat manusia, manusia masih
tetap di tuntut untuk memiliki pengetahuan (ma’rifah) tentang dia melalui akal.
Berikut ini merupakan penafsiran terhadap kunci tersebut oleh Bayadi. Teks asli
Abu Hanifah yang dikutif disini oleh Bayadi diberikan kata-kata
penjelasan dalam kurung.
Sekalipun
Tuhan belum mengirim umat manusia seorang Utusan pun (yang akan menjelaskan
kepada mereka semuanya yang diwajibkan bagi mereka), manusia masih tetap
dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang Dia. (yakni pengetahuan tentang
eksistensi-Nya, kemudian setelah itu pengetahuan tentang keesaan-Nya,
pengetahuan-Nya, kekuasaan-Nya, Firman-Nya, kehendak-Nya dan Dia saja yang
telah menciptakan dunia), dengan akal mereka (yakni ‘akal yang diperoleh
sebagaimana dirumuskan diatas yang merupakan tugas yang dibebankan kepada
manusia untuk merenungkan dan memikirkan selama masa sementara tersebut.
Beberapa
perkataan penting berdasarkan apa yang ditulis oleh Bayadi dan Abu ‘Udhibah
mengenai teori Maturidiyyah tentang akal.
(1)
Akal tidak lain adalah alat
di tangan manusia yang dengannya dapat mengetahui sesuatu yang harus
diketahuinya tentang Tuhan. Akal adalah alat pengetahuan, sehingga untuk tujuan
itu tidak diperlukan Hukum Ilahi.
Perbedaan
antara Maturidiyyah dan Mu’tazilah (semoga Tuhan membinasakan mereka) adalah
bahwa Mu’tazilah menganggap akal saja sudah cukup diwajibkannya pengetahuan,
sedangkan Maturidiyyah menganggap bahwa akal tidak lain adalah sebagai alat
yang dengannya pengetahuan menjadi wajib, sedangkan yang sesungguhnya
menjadikan wajib adalah Tuhan sendiri. Dengan kata lain. Dia (menjadikan
pengetahuan wajib) dengan menggunakan akal manusia sebagai alat.
Perbedaan
maupun keserupaan antara Mu’tazilah dengan Maturidiyyah diungkap dengan jelas
oleh posisi masing-masing berkenaan dengan masalah apakah anak-anak sebelum
dewasa atau orang-orang yang kepada mereka belum sampai berita kenabian
dikenakan tanggungjawab karena kurangnya pengetahuan dan iman.
Abu
‘Udhbah melihat bahwa perbedaan antara Ash’ariyah dan Maturidiyyah dalam hal
ini jauh lebih besar dibandingkan antara Maturidiyyah dengan Mu’tazilah. Ia
mengatakan bahwa sesungguhnya Maturidiyyah dan Mu’tazilah saling sepakat dalam
beberapa persoalan karena penekanan mereka yang sama tentang akal.
Misalnya
ada seseorang yang lahir di pucuk gunung, dibesarkan di sama, sehingga tidak
berkesempatan untuk (mendengarkan tentang utusan sehingga tidak) percaya kepada
Tuhan. Apabila ia mati dalam keadaan tersebut, apakah ia akan dihukum atau
tidak (di akhirat) karena ia tidak percaya?
Inilah
jawaban Ash’ariyyah: tidak, dia tidak akan dihukum karena selama masa hidupnya
syarat mewajibkan untuk percaya kepada Tuhan tidak terdapat, dan syarat
tersebut adalah wahyu.
Maturidiyyah,
dalam pada itu menegaskan: Ya, ia akan dihukum karena telah terdapat syarat
yang mewajibkan iman, dan syarat tersebut adalah akal. Kita memperoleh jawaban
yang sama mengenai hal ini dari Mu’tazilah.
Menurut
Mu’tazilah, siapa saja yang memiliki akal maka tidak ada alasan untuk tidak
memiliki pengetahuan yang diperlukan, apakah ia seorang anak kecil atau seorang
dewasa. Karena (akalnya) tersebut mewajibkan kepadanya untuk mencari kebenaran.
Sehingga seorang anak yang memiliki akal mau tidak mau perlu memiliki iman
karena ia memiliki akal. Apabila ia mati tanpa kepercayaan maka ia akan
dihukum.
Menurut
Maturidiyyah, tidak ada yang mewajibkan kepada anak-anak sebelum ia dewasa,
karena keadaannya berdasarkan sabda Utusan Tuhan: “hukuman dihapus karena tiga
perkara. Salah satu diantaranya adalah anak-anak sebelum ia mencapai dewasa”.
Dengan demikian anak seperti itu akan diampuni, menurut pandangan Maturidiyah,
apabila ia mati tanpa kepercayaan.
(2)
Penegasan yang dikemukakan oleh Maturidiyyah tentang akal bagaimamapun
tidak harus diartikan bahwa menurut Maturidiyah hukum ilahi tidak berguna
apabila kita telah memiliki akal.
(3)
Pertanyaan yang timbul dari (2) sesungguhnya merupakan perkara yang sangat
rumit. Sehingga secara historic menjadikan perpecahan para pengikut Maturidi ke
dalam mazhab Bukhara dan mazhab Samarqand. Secara keseluruhan, mazhab Samarqand
tetap lebih setia kepada intelektualisme Abu Hanifah.
Bukti
teks yang paling penting bagi Ash’ariyah adalah ayat yang dikutip diatas
(XVII,15): Kami tidak pernah menghukum sampai Kami mengirimkan seorang Utusan.
Ayat ini jelas-jelas menolak terjadinya hukuman ilahi sebelum datangnya hukum
tersebut.
Mereka
menegaskan bahwa argument di atas hanya berlaku bagi Mu’tazilah tetapi tidak
berlaku bagi Maturidiyyah.
Karena
hukuman ‘adhab yang dibicarakan disini merupakan hukuman yang paling berat
yakni isti’sal. Hal ini dibuktikan oleh ayat yang langsung mengikuti ayat yang
baru dikutip: “Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati
Tuhan) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah
seantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami
hancurkan negeri itusehancur-hancurnya”.
Menurut
ayat ini, ayat yang sebelumnya tidak lain artinya bahwa Tuhan tidak pernah
memberikan hukuman yang sangat berat kepada seluruh masyarakat sebelum Dia
memberikan peringatan kepada orang-orang melalui seorang utusan. Dengan
demikian ayat tersebut tidak menolak kemungkinan bahwa Tuhan mengirimkan
hukuman yang lebih ringan terhadap orang-orang yang telah mengabaikan untuk
memenuhi apa yang telah diwajibkan (yakni oleh akal) bahkan sebelum diutusnya
seorang utusan.
Sehingga
kesimpulannya bahwa orang yang tidak mengetahui apa yang dapat diketahui oleh
akal tanpa bantuan hukum ilahi dapat dihukum oleh Tuhan.
Setiap
orang yang dikaruniai akal, apabila ia mengamati penciptaan langit dan bumi dan
penciptaan dirinya sendiri dan orang-orang lain, mau tidak mau akan menuju
kepada pengetahuan tentang eksistensi sang pencipta setelah melewati suatu
proses pemikiran.
(4)
Sebagaimana telah dinyatakan dengan jelas pada pembicaraan terdahulu, yang
paling penting diantara semua kewajiban menurut Maturidisme adalah kewajiban
merenungkan dan berfikir untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Ini adalah
asas, sedangkan yang lainnya hanyalah tergantung kepada pengetahuan tersebut.
(5)
Masih ada dua masalah yang lebih kecil untuk disebutkan dalma kontek ini. Yang
satu bersifat sederhana, yakni mengenai sifat atau tingkatan kewajiban untuk
mengetahui. Menurut Bayadi, jenis pengetahuan tentang Tuhan yang berdasarkan
pada penggunaan akal yang umum dan luas, dan yang menyebabkan manusia berfikir
dan menggunakan akal diatas tingkatan paling rendah dari mengikuti dengan
membuta terhadap otoritas, adalah merupakan tugas yang dibebankan kepada setiap
muslim. Dengan kata lain, ini merupakan fard ‘ayn, bukan nya fard kifayah.
Masalah
kedua berkenaan dengan cara dimana penggunaan akal menuju kepada pengetahuan.
Bagaimanakah penggunaan akal yang benar untuk menghasilkan pengetahuan yang
benar? Terhadap pertanyaan ini Mu’tazilah menjawab, melalui generasi (tawlid).
Sedangkan jawaban para filusuf berbeda dengan jawaban tersebut. Mereka
mengatakan melalui keharusan logik (ijab).
Berlawanan
dengan jawaban khas tadi, Maturidiyyah menegaskan, terjadinya pengetahuan
setelah suatu proses penggunaan akal yang benar adalah dikarenakan oleh adat
yang dikembangkan secara ilahiyah. Hubungan antara pengetahuan dengan akal pada
hakikatnya merupakan masalah adat yang ditetapkan oleh Tuhan; yang tidak
memiliki hubungan logik dan bukan mrupakan sesuatu dari hasil alamiah.
2. Wahyu
Pertanyaan
tentang apa perlunya wahyu tentu banyak dihadapkan kepada kaum Mu’tazilah.
Sebagai telah dilihat dalam sistim teologi mereka wahyu tak mempunyai fungsi
apa-apa dalam soal ke empat masalah yang menjadi bahan kontroversi dalam
teologi Islam.
Mengenai
soal Tuhan, betul kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai sifat,
tetapi sebagai telah dijelaskan sebelumnya, mereka tetap berpendapat bahwa
Tuhan mengetahui, berkuasa melihat, mendengar dan sebagainya. Hanya apa yang
disebut sifat oleh golongan lain, bagi mereka adalah esensi Tuhan, dan untuk
menggambarkan hal itu mereka tetap memakai kata “sifat”. Dalam faham mereka,
semua “sifat” Tuhan dapat diketahui. Termasuk dalamnya “sifat-sifat” mendengar
dan melihat yang menurut aliran lain dapat diketahui hanya melalui wahyu.
Argument yang dimajukan kaum Mu’tazilah dalam hal ini ialah: karena Tuhan hidup
dan karena ia hidup dan karena ia suci dari segala kekurangan, maka ia
mesti mempunyai pendengaran dan penglihatan.
Kalau
untuk mengetahui Tuhan dan sifat –sifat-Nya, wahyu , dalam pendapat Mu’tazilah,
tak mempunyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan,
wahyu diperlakukan. Akal betul dapat mengetahui kawajiban berterima kasih
kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat
menyembah Tuhan.
Mengenai
soal baik dan buruk, kaum Mu’tazilah, menurut apa yang terkandung dalam
keterangan Al- Syahrastani, berkeyakinan bahwa akal dapat mengetahui segala apa
yang baik dan segala apa yang buruk.
Selanjutnya
wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi member penjelasan tentang
perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Sebagai kata
‘Abd al- Jabbar, akal tak dapat mengetahui bahwa upah suatu perbuatan baik
lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain;
demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk
lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua ini dapat
diketahui hanya dengan perantaraan wahyu Jubba’i. Wahyulah yang menjelaskan perincian
hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari
uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mu’tazilah
mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah
diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal, dan dengan
demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal. Bahwa wahyu
mempunyai fungsi konfirmasi bagi Mu’tazilah dikandung dalam keterangan
al-Syahrastani.
Fungsi
selanjutnya dari wahyu, sebagai disebut al-Syahrastani, ialah mengingatkan
manusia akan kelalaian mereka dan memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.
Jadi akal telah tahu pada Tuhan dan telah tahu akan kewajiban terhadap Tuhan,
dan wahyu datang untuk mengingatkan manusia pada kewajiban itu. Akal dapat mengetahui
Tuhan, tetapi melalui jalan yang panjang.
Dari
uraian di atas diperoleh kesan bahwa wahyu bagi kaum Mu’tazilah lebih banyak
mempunyai fungsi konfirmasi dari fungsi informasi.
Bagi
kaum Asy’ariyah, karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan saja, wahyu
mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui
kewaijban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu.
Jelas
bahwa dalam pendapat aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak
sekali. Wahyu menentukan boleh dikata segala hal. Sekiranya wahyu tak ada,
manusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya
masyarakat akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat
manusia dan memang demikian pendapat kaum Asy’ariyah. Salah satu fungsi wahyu,
kata al-Dawwani, ialah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya
di dunia.
Adapun
aliran Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih
kurang dari pada wahyu dalam paham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu
hanya unyuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedang dalam pendapat
golongan ke dua, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
Sebagai
kesimpulan dari uraian mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu
mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariah dan fungsi terkecil dalam
faham Mu’tazilah. Bertambah besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam sesuatu
aliran bertambah besar daya akal dalam aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh
pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian
menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia. Wahyu sebaliknya,
menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu ditunkan Tuhan untuk menolong
manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.